Tidak semua klaim yang dikemukakan
bank syariah telah sesuai dengan bukti praktek di lapangan. Agar dikatakan
layak secara syariah, bank syariah menyatakan dirinya telah sesuai dengan fatwa
DSN MUI. Namun, lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktek bank syariah
yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI.
Untuk membuktikan hal itu, mari kita
adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan syariah Nasional) MUI dengan
praktek yang diterapkan di perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi
masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan
syariah di negeri kita.
Fatwa
Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer.
Akad Murabahah adalah
satu satu produk perbankan syariah yang banyak diminati masyarakat.
Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan
atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Kebanyakan ulama dan juga berbagai
lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah
kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI,
juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya No:
04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan
syariah dalam menjalankan akad murabahah. Tapi bagaimana praktek bank
syariah terhadap fatwa Murabahah?
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200,
tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.”
(Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24)
Komentar:
Bank syariah manakah yang benar-benar
menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar
telah dibeli oleh bank?
Pada prakteknya, perbankan syariah,
hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu
melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang
muka).
Adakah bank yang berani menuliskan
pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya
kembali kepada nasabah? Tentu anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita,
baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan
sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam
pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena
secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek
perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang
diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank
telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
Fatwa
Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)
Akad Mudharabah adalah akad
yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini
dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah
menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi
praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek bank syariah perlu ditinjau
ulang.
Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN
menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana,
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.”
(Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43)
Pada ketentuan lainnya, DSN kembali
menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung
semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.”
(Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 45)
Komentar:
Praktek perbankan syariah di lapangan
masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah
benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong
mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat
pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.
Namun kembali lagi, fakta tidak
semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan
fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal
dari perbankan syariah, masih diwajidkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun
ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank
syariah yang mengalami perlakuan ini.
Fatwa
Ketiga, Tentang Gadai Emas
Gadai emas merupakan cara investasi
yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan
diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasioanal melalui
fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktek ini. Pada fatwa
tersebut DSN menyatakan:
“Besar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI hal. 154)
Sementara dalam fatwa DSN No:
26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas,
dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan
pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”
Komentar:
Perbankan syariah manakah
yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan
syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan
barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika bank syariah bersedia menerapkan
fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang
digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB).
Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibabankan nasabah
TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan
penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
Dus, lagi-lagi praktek perbankan
syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN.
Sinopsis
artikel ditulis oleh Ustad DR. Muhammad Arifin Badri. MA di Majalah
Pengusaha Muslim edisi 25
Sumber: http://pengusahamuslim.com/fatwa-dsn-mui-1451
No comments:
Post a Comment